
Makassar, 17 Juli 2025. Perjalanan ini dimulai dari sebuah titik lelah namun penuh semangat. Dari Tulungagung menuju Jombang, kemudian singgah di Juanda, hingga akhirnya terbang ke Makassar. Sekitar pukul 08.00 WITA, kami tiba di Bandara Sultan Hasanuddin. Udara pagi Sulawesi Selatan terasa berbeda, ada semacam energi hangat yang menyambut. Lebih-lebih, kedatangan kami langsung disambut oleh Pak H. Fadly dan Bang Saddan. Keduanya sudah menanti dengan senyum ramah, siap mengantarkan kami menjelajahi lekuk-lekuk daerah yang sebelumnya hanya kami kenal dari peta atau kabar orang. Nama-nama seperti Pinrang, Jampue, Pompanua, Wajo, dan Sinjai mungkin terdengar asing, namun sebentar lagi akan menjadi bagian dari pengalaman tak terlupakan.
Perjalanan dari bandara menuju Pinrang menempuh waktu sekitar 3,5 jam. Selama itu pula kami sempat berhenti di beberapa titik ikonik, menikmati pemandangan khas Maros hingga memasuki kawasan pedesaan yang tenang. Seakan-akan, Sulawesi Selatan membuka dirinya pelan-pelan: jalanan berliku, hamparan sawah, hingga rumah-rumah panggung yang mencerminkan kearifan lokal masyarakat Bugis-Makassar. Perjalanan darat ini bukan hanya sekadar mobilitas, melainkan juga perenungan kecil: betapa panjang rute yang harus ditempuh sebuah pengetahuan sebelum akhirnya bertemu dengan pembaca masa kini.
Setibanya di kediaman KH. Helmi Ali Yafie di Jampue, sambutan hangat kembali kami rasakan. Beliau bukan hanya membuka pintu rumahnya, tetapi juga membuka percakapan tentang sejarah, hikmah, dan dinamika perjalanan keislaman di Sulawesi Selatan. Kami seperti diajak menengok masa lalu melalui kisah-kisah yang beliau sampaikan: bagaimana ulama Bugis mengembangkan tradisi dakwah, bagaimana Al-Qur’an disalin dan diajarkan, serta bagaimana masyarakat Bugis-Makassar menjaga warisan spiritual mereka. Sebelum menyentuh naskah tua, kami terlebih dahulu disentuh oleh nilai dan kebijaksanaan yang hidup dalam cerita.

Proses identifikasi dan digitalisasi dimulai sekitar pukul 14.00 WITA. Objek utama yang kami hadapi adalah mushaf yang dimiliki KH. Helmi Ali Yafie. Berdasarkan identifikasi awal, mushaf ini merupakan karya Syekh Zainal Abidin (w. 1887), seorang ulama masyhur yang lebih dikenal dengan sebutan Gurutta Puang Aji Senong atau Puang Guru Senong. Beliau adalah sosok yang tidak hanya alim, tetapi juga sangat produktif dalam menyalin mushaf Al-Qur’an. Aktivitas ini beliau jalankan sejak masa belajar di Mekkah hingga setelah kepulangannya ke tanah Bugis, terutama saat berdakwah di kawasan Lagosi Pammana dan Pompanua.
Membayangkan sosok ulama abad ke-19 yang tekun menyalin mushaf memberi nuansa tersendiri dalam pengalaman kami. Proses penyalinan mushaf bukanlah sekadar kerja tangan, melainkan juga kerja hati, spiritualitas, dan komitmen keilmuan. Ketekunan itu kini kami rasakan kembali dalam bentuk lain: melalui proses digitalisasi. Dengan peralatan modern, kami mencoba memastikan setiap detail mushaf terekam dengan baik agar bisa diakses generasi mendatang. Seakan-akan, kami sedang melanjutkan estafet yang dimulai oleh Puang Guru Senong berabad-abad silam, hanya saja dalam medium berbeda.
Proses digitalisasi ini sendiri memakan waktu hampir enam jam penuh. Scanner digital yang kami gunakan memang menuntut kehati-hatian tinggi: setiap lembar naskah harus ditangani dengan presisi agar tidak menimbulkan kerusakan sekecil apa pun. Waktu yang panjang terasa seperti sebuah ujian kesabaran, namun justru di situlah letak nilainya. Proses panjang ini menjadi pengingat bahwa menjaga warisan pengetahuan memang tidak pernah instan. Ia selalu menuntut perhatian, tenaga, dan ketekunan.

Akhirnya, sekitar pukul 21.00 WITA, pekerjaan kami selesai. Ada rasa lega sekaligus haru melihat hasil digitalisasi tersimpan aman dalam perangkat. Setelah berpamitan dengan KH. Helmi Ali Yafie beserta keluarga, kami kembali melanjutkan perjalanan panjang menuju Pompanua, Kabupaten Bone. Malam itu, di tengah lelah perjalanan, terbersit rasa syukur mendalam. Kami bukan hanya sedang menjelajahi geografi Sulawesi Selatan, melainkan juga menapaki jalan sunyi para ulama yang menjaga cahaya ilmu melalui naskah. Dan lewat digitalisasi, cahaya itu kini menemukan jalan baru untuk tetap hidup di era digital.

Tinggalkan Balasan