
Sebuah mushaf kuno yang merupakan simpanan pribadi Bapak Haldum Ya’qub ini berasal dari wilayah Sinjai, Sulawesi Selatan. Sebuah daerah yang dikenal memiliki tradisi keislaman yang kuat serta warisan intelektual yang kaya1. Mushaf ini memiliki ukuran fisik yang cukup unik dan relatif tebal, yaitu dengan panjang 20,8 cm, lebar 19 cm, dan ketebalan mencapai 7 cm. Dimensi tersebut menunjukkan bahwa mushaf ini kemungkinan besar digunakan untuk pembacaan pribadi maupun pengajaran dalam lingkungan terbatas, seperti surau, langgar, atau pesantren lokal.
Media tulis yang digunakan adalah kertas bertekstur licin, tanpa watermark, yang mengindikasikan bahwa kertas ini mungkin merupakan hasil produksi lokal atau diperoleh melalui jalur perdagangan non-Eropa. Tidak adanya watermark juga memperkuat dugaan bahwa bahan tersebut bukan hasil industri modern, melainkan berasal dari proses produksi tradisional yang umum ditemukan dalam naskah-naskah Islam Nusantara. Tekstur kertas yang halus menambah daya tarik visual sekaligus mendukung pelestarian tinta dalam jangka panjang.
Salah satu keistimewaan mushaf ini terletak pada penggunaan tinta yang beragam dan penuh estetika. Tulisan ayat-ayat Al-Qur’an ditorehkan dengan tinta emas yang mencolok, memberikan kesan sakral dan bernilai tinggi terhadap teks. Tinta hitam digunakan sebagai tinta utama untuk teks, sedangkan tinta merah berfungsi untuk menandai waqaf (tanda berhenti membaca) serta varian qirā’at (cara pembacaan Al-Qur’an). Sementara itu, tinta biru turut hadir sebagai elemen penanda tambahan yang memperkaya tampilan mushaf secara visual. Kombinasi warna ini menunjukkan keterampilan tinggi dalam kaligrafi dan penyalinan mushaf, serta pemahaman terhadap fungsi tanda baca dalam konteks pembacaan dan pengajaran2.
Meskipun begitu, mushaf ini ditemukan dalam kondisi tidak lengkap dan tidak menyertakan kolofon, yaitu bagian penutup naskah yang biasanya memuat informasi penting seperti nama penyalin, tahun penulisan, dan tempat penyalinan. Ketiadaan kolofon menyulitkan penelusuran sejarah tekstual dan asal-usul mushaf secara spesifik, sehingga diperlukan kajian lanjutan dari sisi filologi maupun kodikologi. Penelusuran terhadap gaya tulisan, struktur halaman, dan pola hiasan dapat menjadi kunci dalam memperkirakan usia dan latar budaya mushaf ini.
Meskipun demikian, keindahan visual, kelengkapan elemen estetika, dan teknik penulisan yang cermat menunjukkan bahwa mushaf ini memiliki nilai historis dan budaya yang sangat tinggi. Ia menjadi salah satu bukti nyata akan tingginya perhatian masyarakat Islam Nusantara terhadap teks suci Al-Qur’an, baik dari sisi pelestarian, pengajaran, maupun penghormatannya secara fisik. Mushaf ini layak menjadi bagian dari kajian dan pelestarian manuskrip Islam Nusantara yang tidak hanya berbicara tentang isi, tetapi juga konteks sosial, budaya, dan religius yang melingkupinya.

Tinggalkan Balasan