
Forum Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara XX yang diadakan oleh organisasi intelektual MANASSA di Jakarta beberapa hari lalu menyisakan banyak pertanyaan sekaligus membakar semangat akademis. Kegiatan yang dilaksanakan dalam kurun waktu tiga hari ini terasa sangat singkat sekali, akan tetapi penuh dengan kajian-kajian baru yang menyegarkan. Materi yang disampaikan oleh para pembicara kunci dan para akademisi diibaratkan makan kenyang dengan lauk penuh ‘daging’ tanpa tulang. Kajian-kajian yang update dengan objek kajian manuskrip atau naskah kuno meninggalkan kesan bahwa kajian-kajian yang bersifat masa lalu bukan berarti kajiannya juga tertinggal. 176 panelis dengan berbagai judul penelitiannya memberikan optimisme tersendiri akan masa depan kajian manuskrip dan riset berbasis kearifan lokal.
Forum-forum seperti ini perlu terus dilakukan sebagai wujud diseminasi ke publik akan harapan terhadap peluang dalam perkembangan keilmuan berbasis kearifan lokal. Banyak peninggalan-peninggalan bangsa yang dapat dijadikan objek riset. Hasil riset-riset ini dapat ikut serta dalam percaturan perkembangan keilmuan global. Sehingga, kajian-kajian yang objeknya adalah peninggalan masa lalu tidak boleh terpinggirkan bahkan termarjinalkan. Melalui forum ini api semangat terus berkobar dan harus selalu dikobarkan.
Ada 12 tema yang disajikan dalam forum simposium ini. Tema-tema yang disajikan bersifat interdisiplin. Beberapa tema kajian dalam setiap panelisnya adalah tentang naskah dan ingatan kolektif masyarakat, refleksi perkembangan filologi di Indonesia, kodikologi dan otentitas naskah, transmisi pengetahuan dan hubungan silang budaya, hingga kajian tren masa kini, yaitu berkaitan dengan naskah dan humaniora digital. Diskusi dalam setiap panel di saat para peneliti mempresentasikan hasil penelitiannya memberikan angin segar dan harapan besar dalam studi pernaskahan. Bertemunya para akademisi ini dapat memperkuat kolaborasi antar kajian pernaskahan yang bersifat inovatif dan kreatif.
Saya menyoroti kajian-kajian pernaskahan dalam lingkup kajian studi keislaman, al-Qur’an dan Tafsir. Tema tema hasil penelitian dari para panelis berkaitan dengan kajian studi al-Qur’an dan Tafsir membuka pintu akan kebosanan terhadap kajian-kajian studi al-Qur’an dan Tafsir yang sedikit monoton beberapa tahun belakangan. Menurut saya, ada sedikit stagnansi kajian al-Qur’an dan Tafsir di beberapa PTKI/PTKIN. Beberapa akademisi menganggap kajian manuskrip adalah kajian yang tidak ada novelty (kebaruan)nya.

Berkaca dari diskusi dalam forum simposium MANASSA ini, penulis berfikir sebaliknya. Ada banyak peluang yang dapat dikembangkan dalam penelitian lanjutan dalam kajian studi al-Qur’an dan Tafsir. Beberapa kajian yang kiranya dapat mulai dilirik oleh para peneliti kajian al-Qur’an dan tafsir adalah kajian parateks, living manuskrip, hibriditas dan dominasi perkembangan keilmuan dalam produksi mushaf al-Qur’an dan Tafsir, serta kajian vernakularisasi terjemah al-Qur’an dan Tafsir.
Beberapa panelis mempresentasikan tentang objek kajian manuskrip Tafsir al-Qur’an, salah satunya tentang dominasi produksi penyalinan Tafsir Jalalayn di Nusantara. Kajiannya tidak fokus kepada isi dari kitab Tafsir Jajalayn, akan tetapi pada sejarah dibalik hadirnya tafsir tersebut di Nusantara. Peta tradisi penyalinan Tafsir Jalalayn menjadi bahan kajian yang masih terbuka lebar untuk dilakukan penelitian lanjutan. Hal ini ditengarai, hampir di setiap wilayah terdapat peninggalan manuskrip Tafsir Jalalayn dengan banyak variasi dalam proses penyalinannya, seperti penggunaan strata bahasa terjemah di setiap wilayah, ada keterpengaruhan kolonisasi atau pun unsur politis yang menyebabkan adanya seleksi variasi sumber rujukan dalam menginterpretasikan Tafsir Jalalayn, atau pun wujud manuskrip Tafsir Jalalayn yang bervariasi karena faktor pedagogik yang mengelilinginya. Ini hasil refleksi saya dari ikut ‘nimbrung’ dalam diskusi pada tema panelis ‘transmisi pengetahuan dan hubungan silang budaya’.
Masih banyak lagi ide-ide segar dari forum diskusi MANASSA ini yang memberikan optimisme saya bahwa kajian studi keIslaman masih akan terus berkembang dan banyak yang perlu dieksplorasi lebih lanjut. Saya tidak dapat menjelaskan dengan sangat rinci dalam refleksi kali ini, karena masih asik menyelami hasil tulisan para panelis yang tidak sempat saya ikuti semuanya. Semoga ada kesempatan untuk diskusi lanjutan pada forum-forum di Pusat Studi al-Qur’an dan Tafsir, sehingga melahirkan para peneliti yang siap bergabung dan berkontribusi dalam forum-forum akademik di kancah nasional maupun internasional.

Tinggalkan Balasan